KEKAYAAN intelektual ulama Tasikmalaya, diartikulasikan dengan banyak cara. Di antaranya, dengan bermedia. Selain surat kabar umum seperti Sora Merdika yang terbit tahun 1920 dan Sipatahoenan (1923),jauh-jauh hari para santri Tasikmalaya sudah melek media.
Faktanya, terbit Alimtisal (1926) yang dikelola Perkoempoelan Goeroe Ngadji, terbit konsisten dua bulan sekali. Digarap dengan serius, tampilannya tak kalah dengan media arus utama pada masa itu. Pertanda, dakwah Islam di Tasikmalaya sudah maju.
Tradisi menulis para ulama sangat menggembirakan. Selain Alimtisal, terbit pula Almawaidz (1933), diusung Nahdlatul Ulama (NU). Terbit seminggu sekali setiap hari Selasa. Pada halaman pertama, tertera Pangrodjong Nahdltoel 'Oelama Tasik.
Almawaidz dimotori Soetisna Sendjaja. Almawaidz, termasuk media dakwah yang populer pada saat itu. Betapa tidak. Para kiai kharismatik langsung turun tangan memerkuat jajaran keredaksian.
Sebut saja, H. M Fadlil (Cikotok), H. Shobandi (Cilenga), H. Dahlan (Cicarulang), Roehiat (Cipasung), H. Jahja (Madiapada), H. Samsoedin (Gegernoong), H. O. Qaljoebi (Madewangi), jeung Kiai Koentet (Garagé).
Diantarana Al Imtisal (1926), nu dikokolakeun ku Perkoempoelan Goeroe Ngadji, medalna dua bulan sakali.
Seiring dengan Almawaidz, di Tasikmalaya juga terbit Almoechtar (1933) dipimpin Kiai Sukalaya, H.M. Pachroerodji. Berkantor di Goenoeng Sabeulahweg. Terbit dua kali dalam sabulan.
Berkaca pada gelora masa silam, sejatinya menjadi sumbu gerakan literasi santri masa kini.