USUT punya usut, alat musik karinding tercipta karena cinta. Seorang pemuda kampung -- Kalamanda – gundah gulana. Dia jatuh cinta kepada seorang gadis ningrat, Raden Sekarwati.
Bukan urusan enteng. Rakyat jelata menjalin hubungan asmara dengan kalangan ningrat. Zaman kiwari pun soal itu masih aktual. Status sosial bisa jadi benteng pemisah. Kalamanda sadar, seorang jelata mesti tahu diri. Tetapi kekuatan cinta tak bisa dibendung. Kalamanda tidak patah arang.
Cinta menjadi sumbu kreatif yang mengejutkan. Dia berpikir keras demi menarik perhatian Sekarwati. Mencari celah, agar bisa berkomunikasi dengan gadis pujaan.
Langkah pertama, bagaimana caranya memecahkan hambatan agar bisa memulainya. Kalamanda harus menyiasati agar bisa memulai menjalin komunikasi dengan gadis bangsawan yang dipinggit itu.
Kondisinya berbeda dengan zaman sekarang yang serba gampang. Whatsapp, LINE, atau Blackberry Messenger sudah dalam genggaman. Selama gawai dalam genggaman urusan komunikasi pasti lancar. Nada bunyi atau getar bisa memecahkan kebuntuan. Cinta yang menggetarkan melahirkan inspirasi berkelebat. Cinta betul-betul bisa melahirkan daya cipta tinggi.
Jatuh cinta telah menggetarkan segalanya. Kegelisahan yang mendorong dirinya menciptakan sebuah alat yang bisa mengalirkan isi hati. Akhirnya dari bilah pohon kawung, Kalamanda membuat waditra atau alat musik, yang kini dikenal dengan karinding. Nama karinding diilhami hewan sawah, kakarindingan.
Saat Sekarwati sedang menyendiri di kamar. Kalamanda mengendap-ngendap mendekati jendela. Kemudian menggetarkan karindingnya. Sekarwati turut bergetar. Suara merdu yang mengalun menembus kamar,meluluhkan hatinya. Cinta Kalamanda gayung bersambut. Suara harpa dari mulut terus mengalun. Gedebur cinta yang tersulut.